Hanacaraka: Filosofi Beladiri dalam Aksara (Huruf) Jawa

Hanacaraka
Datasawala
Padhajayanya
Magabathanga

Pernah mendengar kata-kata tersebut?

Yup, itu adalah pelafalan dari aksara (huruf) jawa. Anda yang bersekolah di daerah jawa timur/jawa tengah pastinya cukup familier.

Konon aksara jawa --yang disebut juga dengan dhentawyanjana atau caraka-- ini diciptakan oleh seorang bernama Ajisaka untuk menghormati dua orang abdinya yang gugur karena mengemban tugas.

Tapi tahukah Anda bahwa aksara jawa ini ternyata menyimpan filosofi yang cukup dalam? Lalu bagaimana ceritanya sehingga Ajisaka menciptakan aksara tersebut dan apa filosofi yang terkandung di dalamnya? Silakan Anda baca kisah tentang Ajisaka berikut ini.

Long time ago, in the galaxy far... far away... ups salah intro. Dahulu kala, di dusun Medang Kawit, desa Majethi, Jawa Tengah, hiduplah seorang pendekar muda, tampan, sakti mandraguna, dan baik hati bernama Ajisaka. Selain sakti, Ajisaka juga memiliki sebilah keris pusaka dan serban sakti yang selalu dikenakannya. Kemanapun Ajisaka pergi, ia selalu ditemani oleh dua orang abdi setianya yang bernama Dora dan Boot Sembada.

Suatu hari Ajisaka memutuskan untuk mengembara bersama Dora, sedangkan Sembada diutusnya untuk membawa dan menjaga keris pusakanya ke pegunungan Kendeng. Ajisaka juga berpesan kepada Sembada untuk tidak menyerahkan keris itu kepada siapapun kecuali kepada dirinya. Setelah itu Sembada berangkat ke arah utara menuju pegunungan Kendeng, sedangkan Ajisaka dan Dora berangkat ke arah selatan.

Setelah berjalan kaki kira-kira setengah hari, sampailah Ajisaka dan Dora di sebuah hutan. Tiba-tiba mereka berdua dikejutkan oleh teriakan minta tolong dari seseorang dan menemukan seorang kakek tua yang sedang diserang oleh dua orang penyamun. Setelah melumpuhkan kedua orang penyamun tersebut (dan menolong si kakek), Ajisaka pun bertanya kepada si kakek apa yang dilakukannya ditengah hutan seorang diri. Si kakek pun menjelaskan bahwa dirinya sedang dalam pelarian, melarikan diri dari negerinya sendiri yaitu Medang Kamulan untuk menghindar dari rajanya, Prabu Dewata Cengkar, yang bengis dan suka memangsa manusia.

Ajisaka yang terkejut mendengar jawaban tersebut kemudian memutuskan untuk menghentikan kekejaman Prabu Dewata Cengkar sekaligus menyelamatkan rakyat Medang Kamulan.

Setelah berjalan berhari-hari menembus hutan, mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra... hehe maap, ngga tahan untuk gak menulisnya, sampailah Ajisaka di kota kerajaan Medang Kamulan. Suasana kota sangat sepi, tidak ada seorangpun yang berlalu lalang, pintu-pintu rumah juga tertutup rapat.

Setelah menyuruh Dora menunggu diluar, Ajisaka dengan langkah tegap masuk sendirian ke istana Medang Kamulan. Setelah berhasil masuk ke dalam istana, Ajisaka mendapati Prabu Dewata Cengkar sedang murka karena belum juga mendapat santapan hari itu. Dengan gagah berani, Ajisaka menghadap sang prabu dan menawarkan diri untuk menjadi santapan sang prabu, tapi sebelum dimangsa, Ajisaka mengajukan syarat untuk diberikan tanah seluas serban yang dikenakannya. Dewata Cengkar yang kegirangan karena mendapatkan santapan yang masih muda dan segar langsung menyetujui syarat tersebut.

Ajisaka pun melepas serbannya dan menyerahkannya kepada sang prabu. Dengan gembira Dewata Cengkar menerimanya dan mulai berjalan mundur sambil mengukur serban tersebut. Anehnya setiap kali di ulur, serban tersebut terus memanjang dan meluas hingga meliputi seluruh wilayah negeri Medang Kamulan. Tapi Dewata Cengkar yang sudah tidak sabar ingin memangsa Ajisaka tidak peduli dan terus berjalan mengukur serban tersebut. Tanpa disadarinya, sampailah Dewata Cengkar ditepi tebing pantai laut selatan, Ajisaka pun menyentakkan ujung serbannya sehingga terceburlah Dewata Cengkar ke laut selatan dan berubah menjadi seekor buaya putih.

Rakyat Medang Kamulan yang gembira mendengar kabar tersebut berbondong-bondong kembali dari pelariannya dan kemudian mengangkat Ajisaka menjadi raja Medang Kamulan menggantikan Dewata Cengkar. Ajisaka memimpin dengan adil dan bijaksana, sehingga rakyat negeri Medang Kamulan hidup tenteram, dan makmur.

Setelah beberapa lama, Ajisaka teringat kepada Sembada dan keris pusakanya. Ia pun memanggil dan mengutus Dora untuk menemui Sembada dan mengambil keris pusakanya.

Singkat cerita, sampailah Dora di pegunungan Kendeng dan menemui Sembada. Setelah bercakap-cakap sebentar, Dora pun menyampaikan maksudnya untuk mengambil keris pusaka milik tuan mereka. Tanpa rasa curiga sedikitpun, Sembada menolak permintaan sahabatnya tersebut karena dirinya sudah dipesan untuk tidak menyerahkan keris tersebut kepada siapapun kecuali kepada Ajisaka. Dora pun bersikeras karena dirinya dipesan untuk tidak kembali tanpa membawa keris pusaka tersebut.

Kedua sahabat itu tidak ada yang mau mengalah, mereka sama-sama bersikeras untuk mempertahankan tanggung jawabnya masing-masing. Lebih baik mereka mati daripada melanggar kepercayaan yang diberikan oleh tuannya. Akhirnya mereka berdua terlibat pertarungan sengit. Karena sama-sama sakti, mereka berdua pun tewas bersama-sama.

Ajisaka yang mulai gelisah karena Dora tidak segera kembali, akhirnya memutuskan untuk menyusul abdinya itu seorang diri ke pegunungan Kendeng. Saat sampai disana terkejutlah dirinya mendapati kedua abdinya sudah tewas. Teringatlah Ajisaka pada pesan yang disampaikannya kepada Sembada dan Dora. Ia pun menyadari bahwa kedua abdinya tewas karena sama-sama ingin membuktikan kesetiaan mereka kepada dirinya.

Untuk mengenang dan menghormati kedua abdinya itu, Ajisaka pun menciptakan aksara jawa yang susunan dan artinya adalah sebagai berikut:
Image dari commons.wikimedia.org
Hana caraka ~ ada dua utusan (caraka = orang kepercayaan)
Data sawala ~ saling berselisih/bertengkar
Pada jayanya ~ sama-sama berjaya/sama-sama sakti
Maga bathanga ~ tewas bersama.

Itulah dia kisah legenda terciptanya aksara jawa. Banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik dari kisah tersebut, utamanya adalah sikap bushido dari kedua abdi Ajisaka. Mereka lebih memilih mati daripada melanggar tanggung jawab yang diberikan oleh tuannya. Selain itu kita juga diingatkan bahwa jika kita memiliki kekuatan, maka kita harus menggunakan kekuatan tersebut untuk menolong orang lain, bukan untuk diri kita sendiri. Kita diingatkan bahwa sebagai seorang pendekar (baca: praktisi bela diri) kita harus mempunyai sifat welas asih, suka menolong, dan juga berjiwa bushido.

Semoga bermanfaat dan terimakasih.

Thanks for reading Hanacaraka: Filosofi Beladiri dalam Aksara (Huruf) Jawa. Please share...!

About dudundeden

Previous
« Prev Post
    Blogger Comment
    Facebook Comment

No Spam, Please...!