Respect, honor, loyalty, humility, self-control, integrity, honesty.
Menghargai, kehormatan, kerendahan hati, kontrol diri, integritas, kejujuran.
Itulah kata-kata yang sering diucapkan oleh para master seni beladiri jaman dulu. Kata-kata yang jika benar-benar kita terapkan akan mengubah kita menjadi manusia yang lebih baik.
Tetapi sayangnya bagi sebagian besar orang, kata-kata tersebut tetaplah hanya menjadi kata-kata, diucapkan namun tidak pernah dilakukan, kalau kata orang jawa 'jarkoni'.
Contohnya seperti ini:
Anda melakukan rei ketika Anda masuk atau keluar dojo,
tetapi Anda menyerobot antrian saat membeli tiket nonton.
Anda bilang bahwa seni beladiri mengajarkan kerendahan hati,
tetapi Anda selalu bilang "Saya pemegang sabuk hitam" setiap kali berkenalan dengan seseorang.
Aneh bukan?
Padahal sebagai seorang praktisi beladiri, setiap hari (kalau Anda berlatih tiap hari) Anda telah melakukan ketujuh hal tersebut, seringkali tanpa Anda sadari.
Respect --Anda menghargai rekan latihan Anda walaupun mungkin Anda lebih 'hebat' atau tingkatan Anda lebih tinggi dari mereka.
Loyalty --Anda dengan senang hati membantu sensei atau senpai Anda melatih murid-murid baru walaupun Anda sedang capek.
Humility --Anda mau menerima pendapat dan mau belajar dari orang lain walaupun tingkatannya mungkin lebih rendah dari Anda.
Self-control --Anda mengontrol tenaga pukulan atau tendangan Anda saat berlatih berpasangan dengan rekan latihan Anda, tidak benar-benar memukul mereka.
Honesty --Anda disuruh push up sebanyak 50 kali oleh pelatih Anda dan Anda benar-benar melakukannya walaupun pelatih Anda (mungkin) nggak menghitungnya.
Integrity --Anda tidak mau menggunakan kekuatan fisik (walaupun fisik Anda lebih unggul) dan tetap 'bermain' teknik walaupun Anda terlihat akan kalah dalam latihan sparring.
Honor --Anda tetap mempertahankan enam prinsip di atas walaupun seseorang menjelek-jelekkan diri Anda atau seni beladiri yang Anda pelajari.
Kalau Anda mampu melakukannya di dalam dojo, kenapa di luar dojo Anda tidak mampu melakukannya?
Ketika sensei atau pelatih kita menyuruh kita untuk mengaplikasikan seni beladiri dalam kehidupan sehari-hari, yang mereka maksud bukan (hanya) aspek fisik dari seni beladiri seperti memukul dan menendang. Yang mereka maksud adalah lebih kepada sikap mental yang memampukan kita untuk memutuskan kapan, dimana, kenapa, dan bagaimana kita menggunakan 'pukulan' dan 'tendangan' tersebut.
Sebuah pola pikir atau mindset.
Seni beladiri memang bisa membuat kita lebih sehat, lebih kuat, lebih fit, dan (mungkin) lebih bahagia (kalau saya sih iyes :-)); tetapi begitu pula dengan bersepeda, joging, bermain futsal, yoga, dan meditasi.
Nggak ada bedanya.
Yang membedakan adalah kemauan kita untuk terus-menerus berlatih dan berusaha untuk menjadi seorang sabuk hitam yang ideal, di dalam maupun di luar tempat latihan.
Kalau Anda seorang sabuk hitam, Anda harus berjalan layaknya seorang sabuk hitam; Anda menyapa rekan kerja Anda layaknya seorang sabuk hitam; Anda menyikat sepatu Anda layaknya seorang sabuk hitam; Anda berbicara layaknya seorang sabuk hitam; Anda bertindak layaknya seorang sabuk hitam.
Setiap saat.
24/7/4/12.
Karena sabuk hitam bukan (hanya) sekedar sebuah sabuk yang melilit di pinggang Anda. Sabuk hitam adalah suatu keadaan pikiran. Sabuk hitam adalah 'do'. Sabuk hitam adalah jalan hidup. Seperti yang dikatakan oleh O-Sensei Morihei Ueshiba: "A black belt is nothing more than a belt that goes around your waist. Being a black belt is a state of mind and attitude".
----------
NB. Walaupun saya memakai contoh sabuk hitam di artikel ini, semua yang saya tulis di atas bisa diterapkan terlepas dari apapun warna sabuk ataupun tingkatan beladiri Anda.
Menghargai, kehormatan, kerendahan hati, kontrol diri, integritas, kejujuran.
Itulah kata-kata yang sering diucapkan oleh para master seni beladiri jaman dulu. Kata-kata yang jika benar-benar kita terapkan akan mengubah kita menjadi manusia yang lebih baik.
Tetapi sayangnya bagi sebagian besar orang, kata-kata tersebut tetaplah hanya menjadi kata-kata, diucapkan namun tidak pernah dilakukan, kalau kata orang jawa 'jarkoni'.
Contohnya seperti ini:
Anda melakukan rei ketika Anda masuk atau keluar dojo,
tetapi Anda menyerobot antrian saat membeli tiket nonton.
Anda bilang bahwa seni beladiri mengajarkan kerendahan hati,
tetapi Anda selalu bilang "Saya pemegang sabuk hitam" setiap kali berkenalan dengan seseorang.
Aneh bukan?
Padahal sebagai seorang praktisi beladiri, setiap hari (kalau Anda berlatih tiap hari) Anda telah melakukan ketujuh hal tersebut, seringkali tanpa Anda sadari.
Respect --Anda menghargai rekan latihan Anda walaupun mungkin Anda lebih 'hebat' atau tingkatan Anda lebih tinggi dari mereka.
Loyalty --Anda dengan senang hati membantu sensei atau senpai Anda melatih murid-murid baru walaupun Anda sedang capek.
Humility --Anda mau menerima pendapat dan mau belajar dari orang lain walaupun tingkatannya mungkin lebih rendah dari Anda.
Self-control --Anda mengontrol tenaga pukulan atau tendangan Anda saat berlatih berpasangan dengan rekan latihan Anda, tidak benar-benar memukul mereka.
Honesty --Anda disuruh push up sebanyak 50 kali oleh pelatih Anda dan Anda benar-benar melakukannya walaupun pelatih Anda (mungkin) nggak menghitungnya.
Integrity --Anda tidak mau menggunakan kekuatan fisik (walaupun fisik Anda lebih unggul) dan tetap 'bermain' teknik walaupun Anda terlihat akan kalah dalam latihan sparring.
Honor --Anda tetap mempertahankan enam prinsip di atas walaupun seseorang menjelek-jelekkan diri Anda atau seni beladiri yang Anda pelajari.
Kalau Anda mampu melakukannya di dalam dojo, kenapa di luar dojo Anda tidak mampu melakukannya?
Ketika sensei atau pelatih kita menyuruh kita untuk mengaplikasikan seni beladiri dalam kehidupan sehari-hari, yang mereka maksud bukan (hanya) aspek fisik dari seni beladiri seperti memukul dan menendang. Yang mereka maksud adalah lebih kepada sikap mental yang memampukan kita untuk memutuskan kapan, dimana, kenapa, dan bagaimana kita menggunakan 'pukulan' dan 'tendangan' tersebut.
Sebuah pola pikir atau mindset.
Seni beladiri memang bisa membuat kita lebih sehat, lebih kuat, lebih fit, dan (mungkin) lebih bahagia (kalau saya sih iyes :-)); tetapi begitu pula dengan bersepeda, joging, bermain futsal, yoga, dan meditasi.
Nggak ada bedanya.
Yang membedakan adalah kemauan kita untuk terus-menerus berlatih dan berusaha untuk menjadi seorang sabuk hitam yang ideal, di dalam maupun di luar tempat latihan.
Kalau Anda seorang sabuk hitam, Anda harus berjalan layaknya seorang sabuk hitam; Anda menyapa rekan kerja Anda layaknya seorang sabuk hitam; Anda menyikat sepatu Anda layaknya seorang sabuk hitam; Anda berbicara layaknya seorang sabuk hitam; Anda bertindak layaknya seorang sabuk hitam.
Setiap saat.
24/7/4/12.
Karena sabuk hitam bukan (hanya) sekedar sebuah sabuk yang melilit di pinggang Anda. Sabuk hitam adalah suatu keadaan pikiran. Sabuk hitam adalah 'do'. Sabuk hitam adalah jalan hidup. Seperti yang dikatakan oleh O-Sensei Morihei Ueshiba: "A black belt is nothing more than a belt that goes around your waist. Being a black belt is a state of mind and attitude".
----------
NB. Walaupun saya memakai contoh sabuk hitam di artikel ini, semua yang saya tulis di atas bisa diterapkan terlepas dari apapun warna sabuk ataupun tingkatan beladiri Anda.
Thanks for reading Bagaimana Caranya Menjadi Seorang Sabuk Hitam Sejati . Please share...!
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »

No Spam, Please...!