Kreativitas adalah salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan.
Tanpa kreativitas, Bethoven tidak akan mungkin menciptakan komposisi seperti Fur Elise; tanpa
kreativitas, J. R. R. Tolkien tidak akan mungkin mengarang trilogi The Lord of the Ring; tanpa kreativitas, tidak akan ada senyuman Monalisa karya Leonardo da Vinci; tanpa kreativitas, kita tidak akan pernah mengenal tokoh Mario ciptaan Shigeru Miyamoto; tanpa kreativitas, tidak akan mungkin bagi seorang Albert Einstein untuk mencetuskan teori relativitas; dan daftar ini akan terus berlanjut.
Bahkan bisa jadi peradaban manusia tidak akan bisa berkembang seperti sekarang ini tanpa adanya kreativitas, seperti kata seorang dokter dan psikolog asal Malta, Edward de Bono: "There is no doubt that creativity is the most important human resource of all. Without creativity, there would be no progress, and we would be forever repeating the same patterns".
Ok, mungkin Anda berpikir: "Memang benar sih, tapi saya kan bukan seorang komposer, saya juga bukan seorang seniman, desainer game, atau seorang ilmuwan. Saya nggak butuh kreativitas".
Okok, ijinkan saya menegaskan dua hal:
Tunggu dulu, bagaimana mungkin kita bisa menjadi kreatif dalam seni beladiri kalau hampir semua elemen di dalamnya (cara bergerak, cara memukul/menendang, cara menangkis, dan sebagainya) sudah fix dan sudah ditentukan?
Ini jawabannya:
Sebagian besar dari kita belum belajar untuk menjadi kreatif dalam seni beladiri.
Kalau Anda sering membaca blog saya ini, Anda pastinya tahu bahwa terdapat tahapan dalam penguasaan seni beladiri --dan berusaha untuk menjadi kreatif sebelum waktunya (baca: di tahapan yang salah) justru akan membuat Anda sulit berkembang. Dalam seni beladiri asal Jepang, tahapan tersebut dikenal sebagai "shu-ha-ri".
Untuk bisa menjadi kreatif dalam seni beladiri, pertama-tama kita harus mengikuti aturan (shu), untuk kemudian mengubah aturan tersebut (ha), sebelum kita mempunyai skill dan kemampuan untuk membuat aturan sendiri (ri). Atau dengan kata lain, kita harus belajar secara bertahap, mulai dari belajar waza (teknik) sampai kemudian mempelajari ri (prinsip) dibalik teknik tersebut.
Kenapa begitu?
Karena berlawanan dengan pendapat umum, kreativitas dalam seni beladiri bukan didapatkan dari berapa banyak waza yang bisa kita lakukan --yang bisa kita raih dengan cara menghafal dan melakukan waza tersebut berulang kali. Kreativitas dalam seni beladiri didapatkan dari pemahaman prinsip yang menentukan kapan, dimana, dan bagaimana suatu waza diaplikasikan.
Tanpa kreativitas, Bethoven tidak akan mungkin menciptakan komposisi seperti Fur Elise; tanpa
kreativitas, J. R. R. Tolkien tidak akan mungkin mengarang trilogi The Lord of the Ring; tanpa kreativitas, tidak akan ada senyuman Monalisa karya Leonardo da Vinci; tanpa kreativitas, kita tidak akan pernah mengenal tokoh Mario ciptaan Shigeru Miyamoto; tanpa kreativitas, tidak akan mungkin bagi seorang Albert Einstein untuk mencetuskan teori relativitas; dan daftar ini akan terus berlanjut.
Bahkan bisa jadi peradaban manusia tidak akan bisa berkembang seperti sekarang ini tanpa adanya kreativitas, seperti kata seorang dokter dan psikolog asal Malta, Edward de Bono: "There is no doubt that creativity is the most important human resource of all. Without creativity, there would be no progress, and we would be forever repeating the same patterns".
Ok, mungkin Anda berpikir: "Memang benar sih, tapi saya kan bukan seorang komposer, saya juga bukan seorang seniman, desainer game, atau seorang ilmuwan. Saya nggak butuh kreativitas".
Okok, ijinkan saya menegaskan dua hal:
- Pertama, terlepas dari apapun profesi Anda, Anda tetap membutuhkan kreativitas. Menu apa yang Anda inginkan untuk makan malam nanti? Baju apa yang harus Anda pakai hari ini? Bagaimana caranya supaya anak Anda mau belajar? Alasan apa yang akan Anda sampaikan kepada sensei Anda saat Anda ingin libur latihan beladiri hari ini? Semua itu juga membutuhkan kreativitas.
- Kedua, jangan lupa dengan kenyataan bahwa Anda adalah seorang seniman -seniman beladiri- yang tentu saja membutuhkan kreativitas.
|  | 
| Image dari pixabay.com | 
Ini jawabannya:
Sebagian besar dari kita belum belajar untuk menjadi kreatif dalam seni beladiri.
Kalau Anda sering membaca blog saya ini, Anda pastinya tahu bahwa terdapat tahapan dalam penguasaan seni beladiri --dan berusaha untuk menjadi kreatif sebelum waktunya (baca: di tahapan yang salah) justru akan membuat Anda sulit berkembang. Dalam seni beladiri asal Jepang, tahapan tersebut dikenal sebagai "shu-ha-ri".
Untuk bisa menjadi kreatif dalam seni beladiri, pertama-tama kita harus mengikuti aturan (shu), untuk kemudian mengubah aturan tersebut (ha), sebelum kita mempunyai skill dan kemampuan untuk membuat aturan sendiri (ri). Atau dengan kata lain, kita harus belajar secara bertahap, mulai dari belajar waza (teknik) sampai kemudian mempelajari ri (prinsip) dibalik teknik tersebut.
Kenapa begitu?
Karena berlawanan dengan pendapat umum, kreativitas dalam seni beladiri bukan didapatkan dari berapa banyak waza yang bisa kita lakukan --yang bisa kita raih dengan cara menghafal dan melakukan waza tersebut berulang kali. Kreativitas dalam seni beladiri didapatkan dari pemahaman prinsip yang menentukan kapan, dimana, dan bagaimana suatu waza diaplikasikan.
- Waza (teknik) bersifat lokal dan terbatas.
- Ri (prinsip) bersifat universal.
Tetapi keduanya tidak bisa berdiri sendiri-sendiri.
Saat saya pribadi mulai memahami hal tersebut (dan itu membutuhkan waktu latihan yang tidak sebentar), persepsi saya terhadap seni beladiri secara keseluruhan berubah. Sebagai contoh saya mampu merangkai gerakan-gerakan --yang sebelumnya terlihat nggak nyambung-- dengan cara kreatif dan baru.
Dan kabar baiknya Anda juga bisa.
Syaratnya adalah jangan berlatih seni beladiri untuk mengejar banyak teknik, berlatihlah untuk benar-benar memahami prinsip dari suatu teknik.
Setuju dengan saya?
Thanks for reading Kreativitas dalam Seni Beladiri. Please share...!
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
No Spam, Please...!